Penulis: Asp Andy Syam.
SELAKSA.ID- Bila Prabowo- Gibran (No.2) menang status quo lanjut, simbol kekuasaan minoritas
Menurut Alvin Toffler dan Heidi dalam Menciptakan peradaban baru, disebutkan bahwa era politik gelombang ekonom ketiga paska industri gelombang kedua memunculkan kekuasan minoritas. Pada era ekonomi gelombang kedua (era industri) kekuasaaan mayoritas yang dipaksakan.
Demikianlah perubahan dan pergeseran mengikuti zaman.
Pergeseran juga terjadi pada era reformasi demokrasi di Indonesia. Bahwa kaum minoritas, dari kekuatan ekonomi, para usahawan, pedagang dan profesi atau gabungan minoritas mampu meraih kekuasaan, baik langsung maupun melalui jalur kepartaian yang mereka kuasai.
Fenomena itu sudah terjadi di era reformasi. Kini menjelang Pilpres 2024 secara terang benderang nampak dari Pernyataan Garibaldi Thohir (Boy Thohir) yang menyatakan bahwa segelintir pengusaha oligarki China menguasai satu pertiga ekonomi indonesia yang setara dengan 7000 trilliun lebih akan memenangkan Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.
Oligarki yang dimaksud adalah pemilik group group Perusahaan besar.
Artinya kekuasaan status quo minoritas dengan pemimpin boneka akan muncul kembali seperti sebelumnya dua periode, menjadi tiga periode. Akan mengendalikan Indonesia dan kemana masa bangsa Indonesia akan dibawa?
Bagaimana mereka berkuasa?
Era politik gelombang ketiga bila mengacu pada pendapat Alvin Toffler dan Heidi, lebih berbasis pada ekonomi dari pada sebaliknya era politik gelombang kedua berbasis populis dan kharisma.
Fenomena era politik gelombang ketiga, yang terjadi sekarang ini adalah persaingan individu dan bukan lagi persaingan kolektif.
Individu individu dari minoritas memiliki basis ekonomi yang kuat sebagai modal memasuki gelanggang politik untuk bersaing mencapai kekuasaaan. Umumnya mereka berhasil.
Sedangkan individu individu dari mayoritas (sosial budaya) secara ekonomi lemah sehingga kurang mampu bersaing dalam gelanggang arena politik untuk mencapai kekuasaaan. Banyak mereka gagal.
Partai partai politik pun terutama yang sekuler, menyeleksi kader yang mau maju ke badan Legislatif menurut kepasitas kekuatan ekonomi yang jumlahnya minoritas. Mereka itu punya kampanye yang marak dengan baliho dan pamflet, mampu menarik perhatian pemilih.
Sedangkan partai partai Islam, masih saja menseleksi kader untuk masuk badan Legislatif menurut takaran keimanan dan ketakwaan dengan mengabaikan kekuatan ekonomi.
Bagaimana mereka bisa bersaing dalam masyarakat yang makin sekuler yang membutuhkan biaya politik yang mahal
Untuk mencapai kekuasaan memerlukan biaya politik yang tidak sedikit. Minimal uang transportasi mendatangi konstituen. Juga biaya pembuatan baliho atau spanduk di jalan jalan. Belum lagi biaya strategi pemenangan, tanpa itu semua mustahil dapat dikenal warga. Semua itu menujukkan betapa pentingnya kekuatan ekonomi menuju kekuasaaan di era demokratisasi yang ditentukan oleh suara dari bawah (button voice)
Pada Pilpres 2024 ini, ditenggarai posisi para Kades akan bermain politik mendukung salah satu Capres (No.2). Hal ini sudah dipersiapkan beberapa tahun lalu.
Ini biaya politiknya sudah pasti mahal dari kelompok ekonomi minoritas. Posisi strategis Kades ini akan ampuh menggolkan seorang Capres yang didukung kuat kekuatan ekonomi minoritas. Diketahui sebagian besar Konstituen ada di Desa.
Bila kekuatan ekonomi yang menentukan siapa yang menang, bisa membuat buruknya moralitas politik. Munculnya para pemimpin yang menyalah gunakan kekuasaan mencari keuntungan. Korupsi pun bisa marak. Lihat saja dua periode pemerintahan terakhir yang didukung oleh kekuatan ekonomi minoritas, membuat korupsi sangat marak dan hanya bagian kecil saja yang tersentuh hukum (KPK)
Bahaya lain kekuasaan minoritas yang berbasis kekuatan ekonomi, bila disalah gunakan untuk menyulitkan atau menindas mayoritas bisa mendorong kemungkinan konflik sosial dimasa depan.
Jangan meremehkan kekuatan mayoritas (sosial budaya). Gerakan people power sekuat apapun kekuasaan dapat di gulingkannya.
Lihat revolusi Islam di Iran 1979/1980. Mampu meruntuhkan dinasti yang paling kuat dengan ekonomi dan militer. Masalahnya adalah kepemimpinan mayoritas?. Adakah pemimpin mayoritas setingkat kapasitasnya dengan Ayatullah Khomaini (Pemimpin Revolusi Iran) dan adakah cendekiawan seperti Ali Syariati yang memiliki integritas tinggi dengan gagasannya mampu melakukan perubahan secara drastis.[]