SELAKSA.ID- Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jakarta mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil tindakan tegas atas keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terkait penetapan empat pulau di wilayah Aceh Singkil sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Empat pulau tersebut, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang—dinyatakan masuk ke dalam wilayah administratif Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2-2138 Tahun 2025, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
PBHI Jakarta menilai keputusan ini dilakukan secara sepihak tanpa dialog terbuka dengan masyarakat Aceh maupun pemerintah daerah, sehingga memicu kontroversi dan keresahan publik.
“Keputusan ini bukan sekadar soal batas wilayah. Bagi masyarakat Aceh, ini menyangkut martabat, sejarah panjang konflik, dan komitmen pasca-perdamaian yang selama ini dijaga,” ujar Mujahidsyah, S.H., M.H., Pengacara Publik PBHI Jakarta.
PBHI menegaskan bahwa terdapat dokumen resmi yang menunjukkan adanya kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara mengenai status wilayah tersebut. Nota kesepakatan tertanggal 10 September 1988 dan perjanjian resmi yang ditandatangani Gubernur Sumut Raja Inal Siregar bersama Gubernur Aceh pada 22 April 1992, bahkan disaksikan langsung oleh Mendagri saat itu, Rudini.
“Tindakan Mendagri Tito Karnavian menunjukkan praktik kekuasaan yang sewenang-wenang. Ini bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,” lanjut Mujahidsyah.
PBHI Jakarta menyampaikan tiga tuntutan utama dalam pernyataannya:
1. Mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera membatalkan Kepmendagri tersebut.
2. Mendesak Presiden untuk mencopot Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang dianggap berperan dalam kebijakan yang berpotensi memecah belah masyarakat.
3. Mengimbau masyarakat untuk tetap tenang, menjaga kondusivitas, serta mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Isu ini menjadi perhatian serius berbagai kalangan, mengingat potensi konflik horizontal yang bisa timbul akibat ketegangan antarwilayah dan antarkomunitas. PBHI Jakarta menekankan pentingnya penyelesaian masalah melalui prinsip keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap sejarah serta nilai-nilai perdamaian yang telah dibangun sejak Perjanjian Helsinki.