GpCiGfr6TfrlGSOlTUY9TpA6GY==
Light Dark
Haidar Alwi Peringatkan Presiden Prabowo: Revisi UU Kejaksaan dan KUHP Berpotensi Picu Gejolak Seperti 2019

Haidar Alwi Peringatkan Presiden Prabowo: Revisi UU Kejaksaan dan KUHP Berpotensi Picu Gejolak Seperti 2019

Daftar Isi
×


SELAKSA.ID – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi, mengingatkan Presiden Prabowo Subianto bahwa Revisi Undang-Undang Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berpotensi memicu gelombang protes besar seperti yang terjadi pada 2019.

Ia menilai langkah ini bisa memicu ketidakstabilan sosial dan politik di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo.

“Sebelum terlambat, kita harus mengingatkan Presiden Prabowo Subianto agar jangan sampai tragedi 2019 terulang kembali. Presiden adalah sosok yang tidak menginginkan adanya gejolak, apalagi tragedi,” ujar Haidar Alwi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/2/2025).

Haidar merujuk pada demonstrasi besar-besaran enam tahun lalu yang menolak Revisi UU KPK dan KUHP. Aksi tersebut berujung pada bentrokan antara aparat dan mahasiswa, menyebabkan kerusakan fasilitas umum, korban luka-luka, bahkan menelan lima korban jiwa dari kalangan pelajar dan mahasiswa.

“Salah satu yang paling menghebohkan adalah mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia yang mengalami cedera parah, termasuk tengkorak retak, pendarahan otak, dan patah tulang. Luka-luka itu masih membekas dalam ingatan publik,” tambahnya.

Haidar Alwi menyoroti khusus Revisi UU Kejaksaan yang memberi jaksa kewenangan penuh dalam perkara pidana melalui asas dominus litis. Menurutnya, meskipun aturan ini bertujuan meningkatkan efektivitas penegakan hukum, justru berpotensi melucuti kewenangan kepolisian dan kehakiman, serta mengaburkan prinsip checks and balances.

“Jaksa bisa melakukan penyelidikan, penyidikan, bahkan mengintervensi penyidikan kepolisian. Mereka juga bisa menentukan sah atau tidaknya penangkapan dan penyitaan, yang seharusnya menjadi kewenangan kehakiman. Ini rawan disalahgunakan, terutama jika ada tekanan politik atau kepentingan elit tertentu,” tegas Haidar.

Lebih lanjut, ia mempertanyakan koordinasi antara kejaksaan dan kepolisian dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor). Menurut KUHAP, kejaksaan seharusnya hanya bertugas sebagai penuntut, bukan penyidik.

“Jika jaksa bertindak sebagai penyidik, maka mereka berstatus sebagai PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) yang wajib berkoordinasi dengan Polri. Faktanya, apakah koordinasi ini benar-benar dilakukan? Ini yang jadi pertanyaan,” katanya.

Kekhawatiran Haidar Alwi bukan tanpa dasar. Gelombang penolakan terhadap Revisi UU Kejaksaan dan KUHP mulai bermunculan di dunia maya. Sebuah petisi online yang menolak penerapan asas dominus litis telah mengumpulkan hampir 40 ribu tanda tangan hingga Selasa sore.

“Masyarakat sudah mulai bersuara. Jika DPR dan pemerintah tetap memaksakan pengesahan revisi ini tanpa melibatkan partisipasi publik, kemarahan masyarakat bisa memuncak dan aksi protes di jalanan bukan hal yang mustahil,” ujar Haidar.

Ia menegaskan bahwa revisi undang-undang ini seharusnya bertujuan memperkuat transparansi, akses keadilan, dan kesetaraan dalam sistem hukum, bukan memperbesar kekuasaan satu lembaga hingga berpotensi menjadi superbody.

“Revisi UU Kejaksaan dan KUHP seharusnya memperkuat sistem peradilan pidana secara adil, bukan justru mendorong penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi,” pungkas Haidar Alwi.

header ads