Masyarakat luar biasanya menilai HMI seperti organisasi politik. Penilaian ini lahir disebabkan oleh peran yang dimainkan oleh para alumninya (KAHMI), yang begitu banyak muncul dalam kegiatan politik, baik melalui partai politik maupun birokrasi pemerintahan.
Padahal sejak awal berdirinya, secara organisatoris, HMI hanyalah sebuah organisasi mahasiswa yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan umat (Islam) dan bangsa. Selain itu, alumni HMI tersebar dalam berbagai profesi, baik di lembaga pemerintahan maupun di swasta. Tidak semuanya alumni HMI berada di lembaga politik; hanya sebagian kecil yang bergelut dalam kegiatan politik.
Penilaian masyarakat sebagaimana disebutkan di atas dapat dilihat dari proses kelahirannya. Secara eksternal, kondisi politik di Indonesia memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap gerak langkah HMI sejak dilahirkan.
Sedangkan secara internal, HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam merupakan organisasi yang independen, artinya secara struktural bukan bagian dari organisasi lain, khususnya ormas Islam. Status seperti inilah yang membuat HMI lebih bebas bergerak dalam merespons setiap perubahan yang terjadi di Indonesia tanpa harus menunggu komando dari induknya.
Kekuatan lain secara internal adalah HMI merupakan organisasi kader. Keanggotaan di HMI mengenal berbagai pola perkaderan yang disusun secara sistematis dan berjenjang, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat advance.
Berbagai kegiatan yang ada di HMI dipahami sebagai bagian dari pola perkaderan bagi anggota. Perkaderan ini merupakan upaya pemberian bekal bagi para anggota yang kelak akan terjun ke masyarakat. Pola perkaderan seperti inilah yang kemudian menumbuhkan sense of mission dalam diri kader-kader HMI ketika menjadi alumni.
Ada dua dimensi yang menjadi latar belakang lahirnya HMI, yaitu dimensi keumatan dan dimensi kebangsaan. Dimensi keumatan berangkat dari kondisi umat Islam ketika HMI didirikan (1947), yang masih terbelakang, terutama di perguruan tinggi.
Perguruan tinggi yang ada saat itu merupakan warisan kolonial. Salah satu ciri pokok pendidikan kolonial adalah bersifat sekular, artinya nilai-nilai keagamaan tidak menjadi bagian dalam kehidupan kampus.
Di perguruan tinggi tidak ada mata kuliah agama, dan kehidupan kebarat-baratan mendominasi kegiatan kemahasiswaan. Padahal secara kuantitatif, para mahasiswa saat itu sebagian besar adalah pemeluk Islam.
Para pendiri HMI berpikir bahwa perguruan tinggi merupakan lembaga strategis dalam membangun umat dan bangsa di masa depan. Dari kampus inilah banyak dicetak para pemimpin bangsa. Apabila mahasiswa dihinggapi oleh kehidupan yang sekular, maka akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang sekular.
Kehidupan sekular dalam dunia pendidikan tidak lepas dari misi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan yang dikenal sebagai Politik Etis, yang terdiri dari tiga hal: pendidikan (edukasi), transmigrasi, dan irigasi. Pendidikan menjadi faktor terpenting dalam perubahan sosial di Indonesia, melahirkan kelompok terpelajar atau elite modern.
Pendidikan yang dilakukan Belanda menimbulkan kesadaran kebangsaan di kalangan kaum terpelajar Indonesia. Mereka sadar bahwa bangsanya terbelakang dan dijajah, dan gagasan nasionalisme mereka perjuangkan melalui organisasi pergerakan seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia, Indische Partij, dan lain-lain. Kelompok terpelajar inilah yang kemudian melahirkan para pemimpin bangsa ketika Indonesia merdeka.
Pendidikan kolonial bertujuan membawa kaum pribumi pada kebudayaan Barat dan mengendalikan fanatisme Islam. Modernisasi yang dilakukan terutama dalam sistem pendidikan menekankan pengetahuan dan keterampilan duniawi. Sementara itu, pendidikan Islam masih bersifat tradisional melalui sistem pesantren yang menekankan pendidikan keagamaan.
Namun, secara kultural, Islam sudah lama tertanam dalam sistem nilai kehidupan kaum pribumi, berkat proses islamisasi yang dilakukan para penyebar Islam di Nusantara dengan pendekatan budaya. Islam ditampilkan dengan wajah Indonesia, terjadi internalisasi nilai-nilai budaya lokal dengan nilai-nilai dasar Islam. Dengan demikian, kaum pribumi dapat dibedakan dari penjajah—Islam menjadi identitas pribumi.
Meski demikian, pendidikan Belanda berhasil membawa sebagian kaum pribumi pada budaya Barat dan nilai-nilai sekular. Hal ini tampak jelas dalam perdebatan tentang dasar negara saat menjelang kemerdekaan, yang memperlihatkan perbedaan antara kelompok nasionalis sekular dan nasionalis Islami.
Pada masa awal kemerdekaan, kondisi politik Indonesia belum stabil akibat konflik kepentingan politik dan ideologi, serta ketegangan dengan Belanda yang masih berusaha menjajah kembali Indonesia. Kondisi ini sangat memengaruhi gerak langkah HMI. Secara ideologis, HMI menempatkan Islam sebagai dasar organisasi. Misinya adalah memberi nilai-nilai keislaman di kampus yang sekular, atau melakukan islamisasi kampus secara kultural.
Namun, komitmen kebangsaan HMI tidak hilang. Pada awal berdirinya, HMI ikut serta dalam mempertahankan kemerdekaan. Anggota HMI memanggul senjata melawan Belanda pada agresi militer pertama 20 Juli 1947. Kader-kader HMI juga terlibat dalam penumpasan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Bersama Divisi Siliwangi, anggota HMI seperti Akhmad Tirtosudiro, Hartono, dan Amin Alamsyah membantu menumpas pemberontakan yang memproklamasikan "Republik Sovyet Indonesia".
Keterlibatan HMI dalam penumpasan PKI menentukan sejarah HMI ke depan. Pada Pemilu 1955, PKI muncul sebagai salah satu partai besar, dengan kekuatan jaringan yang kuat di kalangan buruh dan petani. PKI juga berusaha menyusup ke lembaga-lembaga kemahasiswaan melalui CGMI. HMI dianggap sebagai musuh ideologis utama PKI, karena Islam dan komunisme merupakan ideologi yang saling bertentangan.
Konsepsi Nasakom yang diusung Sukarno memberi peluang besar bagi PKI. Namun, konsepsi ini sulit dilaksanakan, karena agama dan komunisme tidak bisa disatukan. Pada masa Demokrasi Terpimpin, hanya tiga kekuatan politik yang eksis: Sukarno, PKI, dan ABRI. Masyumi dan PSI dibubarkan. PKI menuntut agar HMI juga dibubarkan, namun Sukarno menolaknya.
Pembelaan terhadap HMI datang dari berbagai kalangan, termasuk ABRI. Bagi ABRI, keberadaan HMI sangat penting untuk membendung pengaruh PKI di kampus, yang merupakan medan strategis perubahan ke depan. PKI kesulitan membubarkan HMI karena HMI adalah organisasi independen, bukan bagian dari organisasi lain.
Akhirnya, upaya PKI membubarkan HMI gagal. Justru PKI yang dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang setelah peristiwa Gerakan 30 September (Gestapu). HMI tetap berdiri sebagai organisasi ekstrauniversiter dengan cabang-cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.[]