GpCiGfr6TfrlGSOlTUY9TpA6GY==
Light Dark
Negara Diminta Berani Beri Hak Milik Tanah untuk Koperasi, ini Alasannya

Negara Diminta Berani Beri Hak Milik Tanah untuk Koperasi, ini Alasannya

Daftar Isi
×


SELAKSA.ID - Guru Besar Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Sudjito Atmoredjo, menegaskan bahwa koperasi harus menjadi subjek hukum yang berhak atas kepemilikan tanah secara penuh, bukan hanya sebagai pengguna melalui skema Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB).

Hal ini disampaikan dalam forum Serap Aspirasi Publik RUU Perkoperasian bertema “Urgensi Hak Milik atas Tanah untuk Koperasi sebagai Perwujudan Reforma Agraria Berkeadilan dan Berkelanjutan” yang diselenggarakan Kementerian Koperasi dan Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) di Hotel Keisha, Yogyakarta, Kamis (31/7).

“Kalau pemerintah punya komitmen untuk meningkatkan harkat dan martabat koperasi, maka tidak perlu ragu mengeluarkan Perppu yang menjamin koperasi memiliki hak milik atas tanah,” tegas Sudjito.

Dalam paparannya, Sudjito mengkritik banyaknya regulasi pertanahan yang sudah usang dan tidak relevan dengan kondisi saat ini. Ia menekankan pentingnya pembaruan hukum agar koperasi sebagai pilar ekonomi kerakyatan tidak terus berada dalam posisi subordinat terhadap badan usaha lainnya.

“Koperasi harus diperlakukan sebagai subjek hukum yang sejajar, bahkan harus mendapatkan perlakuan afirmatif,” ujarnya. Ia mengusulkan agar semua koperasi, khususnya di bidang pertanian, diberikan status hak milik atas tanah yang dikelolanya.

Sudjito menegaskan bahwa semangat Pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjadi fondasi kebijakan pertanahan dan ekonomi nasional. Menurutnya, koperasi adalah bentuk usaha yang paling sesuai dengan asas kekeluargaan, gotong royong, dan demokrasi ekonomi.

“Negara memiliki kewajiban untuk mengelola sumber daya alam, termasuk tanah, demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan koperasi adalah instrumen terbaik untuk itu,” katanya.

Sudjito juga menyoroti pentingnya reforma agraria sebagai jalan bagi koperasi untuk memperoleh kepemilikan atas tanah. Ia menilai bahwa program redistribusi tanah harus menyasar koperasi, bukan justru dimonopoli oleh segelintir korporasi.

“Tanah yang dulunya kawasan hutan kini berubah jadi kebun sawit besar. Siapa yang menikmati? Ini harus dikoreksi. Reforma agraria harus menyentuh koperasi,” ujarnya dalam sesi diskusi.

Ia mengingatkan bahwa landasan hukum reforma agraria sudah sangat kuat, baik dalam UUPA 1960 maupun TAP MPR Nomor IX/MPR/2001. Namun, implementasinya dinilai masih jauh dari cita-cita keadilan sosial.

Sudjito mendorong agar Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 1963 yang mengatur badan hukum penerima hak milik atas tanah segera diperbarui. Ia mencatat bahwa koperasi pertanian sebenarnya sudah pernah disebut dalam PP tersebut, namun implementasinya terbatas.

“Jika koperasi saja tidak diberi ruang kepemilikan, bagaimana mungkin kita bicara tentang demokrasi ekonomi?” kritiknya.

Sudjito juga mendorong pembebasan biaya administrasi pertanahan untuk koperasi, termasuk biaya notaris.

“Ini bagian dari affirmative action negara terhadap ekonomi kerakyatan,” tandasnya.

Hal senada juga disampaikan Pakar Hukum Prof. Rumainur, S.H., M.H., Ph.D, Guru Besar Universitas Nasional Jakarta. Dia menegaskan pentingnya penguatan status hukum koperasi dalam kepemilikan tanah.

Menurut Rumainur, saat ini koperasi sebagai badan hukum belum tercantum secara eksplisit dalam regulasi yang mengatur hak milik atas tanah. Padahal secara normatif, koperasi memiliki potensi kuat sebagai subjek hukum yang layak memiliki tanah guna mendukung aktivitas ekonominya.

“Secara akademik, saya setuju koperasi memiliki hak atas tanah,” tegasnya. Ia merujuk pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menekankan prinsip demokrasi ekonomi berbasis kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan kemandirian sebagai landasan peran koperasi dalam pembangunan nasional.

Dalam paparannya, Rumainur menjelaskan bahwa Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memang membuka peluang bagi badan hukum tertentu untuk memiliki hak milik atas tanah. Namun hingga kini, koperasi belum dimasukkan secara resmi dalam daftar badan hukum yang diakui, seperti bank pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial.

“Permen Agraria/BPN Nomor 9 Tahun 1999 perlu direvisi karena koperasi tidak termasuk dalam badan hukum yang bisa memiliki hak milik atas tanah. Ini menciptakan kekosongan dan pertentangan hukum,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti urgensi adanya Peraturan Pemerintah (PP) baru yang secara eksplisit menetapkan koperasi sebagai badan hukum yang berhak atas tanah, terutama untuk memperkuat posisi koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat.

Rumainur juga menyampaikan bahwa dalam kondisi hukum saat ini dan ke depan, koperasi seharusnya bisa menjadi pihak yang diberi hak atas tanah yang diterlantarkan oleh subjek hukum lain, seperti perseorangan atau perseroan terbatas.

“Tanah yang ditelantarkan oleh badan hukum lain bisa dan seharusnya dialihkan kepada koperasi, karena koperasi berorientasi pada kesejahteraan bersama dan keberlanjutan ekonomi rakyat,” ujarnya.

Ia menekankan perlunya sinkronisasi antara UUPA, KUHPerdata, dan UU Perkoperasian. Dalam KUHPerdata, koperasi sebagai badan hukum memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan subjek hukum lain. Namun dalam praktik, koperasi masih diperlakukan tidak setara dengan badan hukum seperti PT atau yayasan dalam hal kepemilikan tanah.

“Saatnya pemerintah mengejawantahkan demokrasi ekonomi dengan memperkuat posisi koperasi, termasuk memberi akses hak milik atas tanah yang menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi mereka,” tutup Rumainur.

Hadir dalam acara ini sebagai narasumber antara lain, Hendra Saragih, Deputi Bidang Kelembagaan dan Digitalisasi Kementerian Koperasi (Kemenkop), Wartomo, A.Ptnh., S.H., M.H., Direktur Pengaturan dan Penetapan Hak atas Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN, Mursida Rambe, serta Ketua Harian Forkopi, Kartiko Adi Wibowo.


Hadir dalam acara ini sebagai narasumber antara lain, Hendra Saragih, Deputi Bidang Kelembagaan dan Digitalisasi Kementerian Koperasi (Kemenkop), Wartomo, A.Ptnh., S.H., M.H., Direktur Pengaturan dan Penetapan Hak atas Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN, Guru Besar Universitas Nasional (Unas) Prof. Rumainur, S.H., M.H., Ph.D., Mursida Rambe, serta Ketua Harian Forkopi, Kartiko Adi Wibowo.
header ads