Salah satu penggarap, Salim, mengungkapkan bahwa ia baru mengetahui pembangunan tersebut dua hari setelah pihak pemerintah setempat melakukan pembukaan lahan dan penebangan tanaman. Di area tersebut terdapat sejumlah pohon pisang dan tanaman lain yang ia rawat selama bertahun-tahun.
Melalui kuasa hukumnya, Taufik Remanja Harahap, SH., CPLA dan Khaerul Ikbal, SH., CPLA, Pengacara Publik dari PBHI Jakarta, Pak Salim menyesalkan tindakan sepihak tersebut. Mereka menilai pemerintah desa bertindak sewenang-wenang karena mengabaikan hak-hak penggarap serta tidak mengedepankan musyawarah sebagaimana prinsip tata kelola pemerintahan desa yang baik.
“Lahan itu bukan tanah terlantar. Ada tanaman produktif milik klien kami. Seharusnya pemerintah desa mengedepankan musyawarah, bukan tiba-tiba membuka dan menebang,” tegas kuasa hukum Pak Salim.
Kuasa hukum juga menyatakan bahwa tindakan tersebut melanggar asas keterbukaan, kehati-hatian, serta larangan merugikan warga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Karena itu, mereka mendesak Kepala Desa Limusnunggal untuk menghentikan sementara seluruh kegiatan pembangunan Kopdes hingga ada penyelesaian yang adil.
Selain itu, mereka menuntut kompensasi yang layak atas kerugian materiil berupa tanaman dan nilai ekonomis lahan yang telah digarap. Pemerintah daerah hingga pemerintah pusat juga diminta turun tangan memastikan tidak adanya penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan lahan eks HGU tersebut.
Kuasa hukum menegaskan bahwa penyelesaian persoalan ini harus ditempuh melalui musyawarah mufakat dengan melibatkan seluruh pihak secara transparan, demi menjamin rasa keadilan bagi warga penggarap.[]
